Ada beberapa kiat khusyu’ dalam shalat yang kerap kali disinggung oleh para ulama dalam buku-buku mereka khususnya yang berkenaan dengan hukum dan tata cara shalat. Di antaranya:
1. Mengenal Allah, Menghadirkan, Mengagungkan dan Takut Kepada-Nya
Orang yang paling khusyu’ dalam shalat adalah orang yang paling bertakwa, sebagaimana firman Allah:
“(orang-orang yang khusyu’ yaitu) orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Rabb mereka, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 46)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
“Sesungguhnya yang takut (bertakwa) kepada Allah hanyalah para ulama.” (QS. Al-Fathir: 28)
Maksudnya, hanya orang-orang yang berilmu yang tergolong bertakwa kepada. Allah. Dan tentunya, hanya merekalah yang digolongkan orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya. Yang dimaksud dengan ilmu di sini tentunya ilmu yang shahih yang membuahkan amalan shalih. Karena itu Al-Hasan al-Bashri pernah menyatakan:
“Ilmu itu ada dua macam: ilmu ungkapan lidah, dan ilmu di sanubari. Adapun ilmu sanubari, itulah ilmu yang bermanfaat. Sedangkan ilmu ungkapan lidah, adalah hujah Allah atas manusia.“
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Apakah kamu yang lebih beruntung wahai orang-orang musyrik, ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam, dengan sujud dan berdiri, sedangkan ia takut akan (adzab) akhirat dan mengharapkan rahmat Rabb-nya…” (QS. Az-Zumar: 9)
2. Menyadari Bahwa Shalat Adalah Perjumpaan, Sekaligus Komunikasi Dirinya Dengan Allah
Hal itu telah diisyaratkan dalam hadits Nabi:
“Apabila seorang di antaramu sedang shalat, sesungguhnya dirinya sedang berkomunikasi dengan Allah….” (HR. Bukhari: 531, Muslim: Syarah Nawawi: 5/40-41, An-Nasa’i: 1/163. 11/52-53 dan lain-lain)
Imam Nawawi berkata:
“Sabda beliau: “..sesungguhnya ia sedang berkomunikasi kepada Rabb-nya…”, merupakan isyarat akan pentingnya keikhlasan hati, kehadirannya {dalam shalat) dan pengosongannya dari selain berdzikir kepada Allah… ” (Lihat Syarhu Shahih Muslim V/40-41)
Jika shalat adalah komunikasi seorang hamba kepada Allah, dan itu sudah disadari oleh orang yang shalat; maka sudah selayaknya hal itu memacu dirinya.untuk bersikap khusyu’. Karena diapun sadar, bahwa segala gerak hatinya, apalagi gerak tubuh kasarnva, pasti selalu diperhatikan oleh Allah.
3. Ikhlas Dalam Melaksanakannya
Keikhlasan adalah ruh amal. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Yang menjadikan hidup dan mati, agar Dia menguji kamu; siapakah diantara kamu sekalian yang terbaik amalannya.” (QS. Al-Mulk: 2)
Berkenaan dengan ayat ini; Fudhail bin Iyyadh pernah menyatakan:
“Yang dimaksudkan dengan yang terbaik amalannya, adalah yang paling ikhlas dan paling benar.“
Satu amalan yang dianggap pelakunya sudah ikhlas, bila tak mencocoki ajaran syari’at (benar), tak akan diterima. Demikian juga amalan yang benar sesuai ketentuan, namun tidak ikhlas karena Allah, juga tak ada gunanya. Ikhlas, artinya hanya untuk Allah. Benar, artinya menuruti Sunnah Rasul. (Lihat Al-Hilyah – oleh Abu Nu’aim: V111/59, Tafsir Al-Baghwi: 1V/369, Zadul Masir: 1V/79)
Satu amalan yang dilakukan dengan ikhlas, dengan sendirinya akan mudah meleburkan diri si hamba secara menyeluruh ke dalam ibadah itu sendiri. Karena tak satupun -menurut keyakinannya- yang pantas menguras perhatian dirinya selain Allah.
4. Mengkonsentrasikan Diri Hanya Untuk Allah
Dalam shahih Muslim diriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda:
“Seandainya seorang hamba (sesudah berwudhu dengan baik) tegak malakukan shalat, memuji Allah, menyanjung-Nya, mensucikan diri-Nya yang mana itu memang merupakan hak-Nya, mengkonsentrasikan diri hanya mengingat Allah; maka ia akan keluar dari shalatnya laksana bayi yang baru dilahirkan.” (HR. Muslim: 832 dan Ahmad: IV / 112-385, dari hadits Amru bin Abasah)
Al-Imam Ibnu Katsir menyatakan:
“Sesungguhnya kekhusyu’an dalam shalat itu hanya dapat dicapai oleh orang yang mengkonsentrasikan hatinya untuk shalat itu, disibukkan oleh shalat hingga tak mengurus yang lainnya; sehingga ia lebih mengutamakan shalat dari amalan yang lain.“
5. Menghindari Berpalingnya Hati Dan Anggota Tubuh Dari Shalat
Aisyah pernah bertutur:
“Aku pernah bertanya kepada Rasulullah tentang berpalingnya wajah di kala shalat, ke arah lain. Beliau menjawab: “Itu adalah hasil curian setan dari shalat seorang hamba.” (HR. Bukhari: 571, Abu Dawud: 910, Tirmidzi: 589, An-Nasa’i: III/7 dan lain-lain)
Ath-Tayyibi menyatakan:
“Dinamakan dengan “hasil curian”, menunjukkan betapa buruknya perbuatan itu. karena orang yang shalat itu tengah menghadap Allah, namun setan mengintai dan menncuri kesempatan. Apabila ia lengah, setan langsung beraksi!”
Imam Ash-Shan’ani menyatakan:
“Sebab dimakruhkannya berpaling tanpa hajat di kala shalat, karena itu dapat mengurangi kekhusyu’an, dan dapat juga menyebabkan sebagian anggota badan berpaling dari kiblat. Juga karena shalat itu adalah menghadap Allah.” (Lihat Subulu As-Salam I/309-310)
6. Merenungi Setiap Gerakan Dan Dzikir-Dzikir Dalam Shalat
Firman Allah:
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci? (QS. Muhammad: 24)
Imam Ibnul Qayyim pernah menyatakan:
“Ada satu hal yang ajaib, yang dapat diperoleh oleh orang yang merenungi makna-makna Al-Qur’an. Yaitu keajaiban-keajaiban Asma dan Sifat Allah. Itu terjadi, tatkala orang tadi menuangkan segala curahan iman dalam hatinya, sehingga ia dapat memahami bahwa setiap Asma dan Sifat Allah itu memiliki tempat (bukan dibaca) di setiap gerakan shalat. Artinya bersesuaian. Tatkala ia tegak berdiri, ia dapat menyadari ke-Maha Terjagaan Allah, dan apabila ia bertakbir, ia ingat akan ke-Maha Agung-an Allah.” (Lihat Ash-Shalah karya Ibnu Qayyim)
Kata Imam Al-Ghazali dalam Al-Arba’ien:
“Hendaklah kamu membaca ‘Allahu Akbar’ dengan mengingat bahwasanya tidak ada yang lebih besar daripada Allah Subhanahu wa Ta’ala;
Hendaklah kamu membaca ‘wajjahtu wajhiya …,’ dengan perasaan bahwa kamu benar-benar menghadapkan jiwamu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan berpaling dari selainNya;
Hendaklah kamu membaca ‘AlhamdulilLah’, dengan ‘penuh rasa syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap segala nikmat-nikmatNya;
Hendaklah kamu membaca ‘Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’ien’, dengan perasaan bahwa ‘kamu sangat lemah dan bahwa segala urusan itu hanya di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala semata-mata;
Dan hendaklah di tiap-tiap kamu membaca dzikir, kamu ingat makna-maknanya. Dan ketahuilah, bahwa segala yang membimbangkan kamu dari memahamkan makna apa yang kamu baca dipandang was-was”
7. Memelihara Thuma’ninah (Ketenangan), Dan Tidak Terburu-buru Dalam Shalat
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan apabila kamu sudah tenang, maka dirikanlah shalat…” (QS. An-Nisa’: 103)
Ayat di atas jelas mengisyaratkan bahwa ketenangan, adalah faktor vital dalam shalat yang harus diperhatikan. Sehingga “keharusan” shalat bagi seorang mukmin di saat-saat berperang dengan orang-orang kafir, dilakukan kala ia sudah kembali tenang.
Hal ini juga terpahami jelas dari hadits tentang “Shalat orang yang asal-asalan”, yang lalu dikoreksi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan orang itu disuruh mengulangi shalatnya dengan sabda beliau, yang artinya:
“…dan ruku’lah sehingga kamu thuma’ninah dalam ruku’ itu, lalu tegaklah berdiri sampai kamu thuma’ninah dalam berdiri…dst.” (HR. Bukhari: 757, 793, 6251 dan lain-lain, Muslim: 397, Abu Dawud: 956 dan yang lainnya)
8. Semangat Dalam Melakukannya
Ini satu hal yang lumrah. Karena tatkala seseorang shalat dengan seenaknya, malas dan tidak bersemangat; jelas tak akan dapat diharapkan kekhusyu’annya.. Oleh sebab itu, dalam hadits yang diceritakan Anas bin Malik disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memasuki masjid. Tiba-tiba beliau melihat ada tali yang direntangkan antara dua tiang masjid tersebut. Beliau lantas bertanya:
“Untuk apa tali ini?” Para, sahabat menjawab: “Itu punyanya Zainab. Kalau dia lagi lemas waktu shalat, itu dijadikan tempat berpegangan.” maka beliau bersabda: “Lepaskan tali itu. Setiap kamu itu hendaknya shalat dengan bersemangat. Kalau dia memang merasa capek, ya istirahat dulu.” (HR. Bukhari: 1150, Muslim: 784 dan lain-lain)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda,
“Apabila salah seorang di antara kamu mengantuk, sedangkan ia tengah melalukan shalat; hendaknya ia tidur terlebih dahulu sehingga hilang rasa mengantuknya. Karena kalau ia shalat terus, jangan-jangan, ia ingin beristighfar malah mencaci dirinya sendiri.” (HR. Bukhari: 212, Muslim: 786, Abu Dawud: 1310, At-Tirmidzi: 388, An-Nasa’i: 11215-216, Ibnu Majah: 1370, Ahmad: VI/56, 202, 259, Ad-Darimi: 1373 dan Malik dalam Al-Muwattha’: 31/118, dari hadits Aisyah)
Berkenaan dengan hal itu, Imam An-Nawawi pernah menyatakan:
“Hadilts tersebut mengandung anjuran agar seorang hamba itu shalat dengan konsentrasi penuh, khusyu’, terfokus fikirannya kepada Allah dan dengan semangat. Hadits tersebut juga menyuruh orang yang mengantuk selagi shalat itu untuk tidur dulu, atau melakukan hal lain yang dapat menghilangkan rasa kantuknya.” (Lihat Syarhu An-Nawawi VI/74)
Dalam hal ini, nampak sekali kesalahan sebagian kaum Muslimin yang menganggap shalat yang khusyu’ itu cenderung harus dilakukan dengan lemah gemulai dan tak bertenaga. Kalau kita tilik kembali tata cara shalat yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka akan kita dapati bahwa seluruh gerakan shalat secara kolektif ternyata harus dilakukan dengan bersemangat, bukan dengan melemas-lemaskan tubuh.
Ambil contoh, misalnya: ruku’. Di saat melakukan ruku’, orang yang shalat diperintahkan untuk meluruskan punggung. Namun disamping itu ia juga diperintahkan untuk membengkokkan sedikit kedua tangannva. Konsekuensinya, ia harus melakukan gerakan itu dengan perhatian penuh.
Contoh lain, kala bersujud. Di saat bersujud, seorang mukmin harus meluruskan punggungnya, meluruskan pahanva, meletakkan dengan tepat tujuh anggota sujud, menekankan kening ke bumi, bertumpu pada kedua belah telapak tangan, merapatkan kedua telapak kaki, mengarahkan dengan penuh jari-jari kaki ke arah kiblat, merenggangkan kedua lengan, menjauhkan perut dengan bumi; di samping juga berdzikir, memanjangkan sujud dan lain-lain. Semuanya itu, tak syak lagi, hanya bisa dilakukan dengan penuh perhatian dan semangat yang tinggi.
9. Memilih Tempat Shalat Yang Sesuai
Artinya yang memenuhi syarat agar bisa membuat shalat kita menjadi khusyu’. Tempat tadi paling tidak harus memenuhi beberapa kriteria berikut:
a) Tenang, dan jauh dari keributan yang ditimbulkan -mungkin- oleh penuh sesaknya orang-orang yang shalat, sehingga membikin suara yang mangganggu. Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah marah ketika dalam shalat beliau mendengar suara ribut di belakangnya.
b) Hadirnya para malaikat. Artinya, kita menghindari hal-hal/sesuatu yang menghalangi malaikat (rahmat) untuk memasuki tempat kita menunaikan shalat, misalnya, lukisan benda bernyawa, atau anjing. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Para malaikat tidak akan memasuki satu rumah yang di dalamnya ada lukisan benda bernyawa, atau anjing.” (HR. Bukhari: 4225, 3322, 4002. 5949, Muslim: 2106, Tirmidzi: 2804, An-Nasa’i: 7/185-186, dan yang lainnya)
Imam A1-Khitabi menjelaskan:
“Yang dimaksud di situ adalah para malaikat yang datang membawa rahmat dan berkah, bukan para malaikat yang mencatat amalan seorang hamba. Karena mereka (yang kedua) itu tak pernah berpisah dengan manusia.” (Lihat “Hasyiah As-Sindi ‘Ala Ibnu Majah”: 11/386)
Di antaranya lagi suara-suara musik. Juga termasuk di antaranya suara bell lonceng. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
“Sesungguhnya lonceng itu adalah seruling-seruling setan.” (HR. Muslim: 2114, An-Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra: 8812, Abu Dawud: 2556, Ahmad dalam Musnadnya: 11/366-3720, Al-Baihaqi dalam “As-Sunan Al-Kubra”: 5/253)
10. Menghindari Segala Sesuatu Yang Menyibukkan Dan Mengganggu Shalat
Termasuk dalam lingkaran larangan itu, shalat di kala makanan sudah dihidangkan; atau shalat di kala sedang menahan buang air kecil atau besar. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Janganlah salah seorang di antara kamu shalat, kala makanan dihidangkan, atau kala menahan buang air.” (HR. Muslim: 560, Ibnu Hibban: 195 dan Al-Baghwi dalam “Syarhu As-Sunnah”: 801)
Diriwayatkan dalam hadits al-Bukhari dan Muslim: 558, bahwasanya Ibnu Umar pernah dihidangi makanan; saat itu adzan berkumandang, namun beliau terus saja makan sampai selesai. Padahal beliau sudah mendengar suara bacaan imam. Di antaranya yang lain: shalat di bawah terik matahari. Dalam hal ini Rasulullah pernah bersabda, yang artinya:
“Apabila matahari bersinar terik panas sekali, tundalah waktu shalat hingga cuaca dingin. Karena sesungguhnya panas yang terik itu berasal dari uap Narr Jahannam.“
Yang lainnya lagi: memandang {ketika shalat) sesuatu yang merusak konsentrasi. Dari Anas diceritakan, bahwa Aisyah memiliki kain korden berhias yang menutupi sebagian tembok rumahnya. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Singkirkan korden itu. Sesungguhnya gambar-gambarnya terus terbayang dalam diriku di waktu shalat.” (HR. Bukhari: 374 dan Ahmad: III/151 – 283)
Imam Ash-Shan’ani berkomentar:
“Sesungguhnya hadits itu mengandung larangan terhadap segala hal yang dapat mengganggu shalat. Baik itu ukiran-ukiran, hiasan-hiasan dan lain-lain.”
11. Memanjangkan Bacaan
Memanjangkan bacaan surat dalam shalat, seringkali membantu proses kekhusyu’an, terutama bagi yang mengerti kandungan makna bacaan itu, atau bagi orang yang dianugerahi Allah kelembutan jiwa.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya:
“Shalat bagaimana yang paling utama?” Beliau menjawab: “Yang panjang qunut/kekhusyu’an nya.” (HR. Muslim: 756, Tirmidzi: 387, Ibnu Majah: 1421 dan Al-Baghwi dalam Syarhu As Sunnnah: 559-560)
Imam Ibnul ‘Arabi menyatakan:
“Aku mencoba menyelidiki sumber-sumber kekhusyu’an; lalu kudapati ada sepuluh perkara:
Ketaa’atan, ibadah, kesinambungan melakukan amal shalih, shalat, bangun malam; berdiri panjang (dalam shalat), berdo’a, ketundukan, diam tenang, dan tidak menoleh-noleh. Kesemuanya adalah alternatif yang saling terkait. Namun yang paling berpengaruh adalah: ketundukan, berdiam diri dan bangun malam.” (Lihat “Al-’Aridhah”)
12. Shalat Seperti Shalatnya Orang Yang Akan Bepergian Jauh (Meninggalkan Alam Fana)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menegaskan:
“Apabila engkau melakukan shalat, maka shalatlah kamu, dengan shalatnya orang yang akan meninggalkan alam fana… ” (HR. Ibnu Majah: 4171, Ahmad: 5/412 dan dihasankan oleh Al-Albani dalam “Shahih Aljami’ Ash-Shaghir”: 1/265)
Maksudnya adalah agar kita shalat dengan shalatnya orang yang rindu untuk berjumpa Allah. Bukan shalatnya orang yang gila dunia, yang menjadikan dunia dan segala kesibukannya sebagai bayangan yang selalu terukir dalam benak.
Masih ada lagi beberapa kiat khusyu’ lainnya, dalam shalat. Cukup dikutip sebagian di antaranya; sekedar untuk memacu diri kita agar memperbaiki kualitas shalat kita. Menghiasi dan menyempurnakannya dengan kekhusyu’an; sehingga pada akhirnya, akan menjadikan kita sebagai mukmin yang penuh keberuntungan, dunia dan akhirat. Lalu, kita berdo’a kepada Allah agar kita dijauhkan dari mereka yang disebutkan dalam firman Allah:
“Maka sungguh satu kecelakaan yang besar bagi meraka yang telah mambatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Az-Zumar: 22)
source: internet
0 comments:
Post a Comment